BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Maslahah mursalah merupakan
salah satu metode istimbat hukum Islam yang lebih banyak menekankan aspek
maslahat dalam pengambilan keputusan hukumnya. Sementara, peranan maslahat
dalam hukum Islam sangat dominan dan menentukan. Mengingat
bahwa tujuan dari maslahah adalah menarik kemanfaatan dan menolak kemudharatan
yang mana merupakan tujuan yang dikehendaki oleh pembuat syari'at, maka para
ulama yang berkecimpung dalam studi ushul fiqih dan syari'at sangat
memperhatikan makna ini ketika mereka mendefinisikan al maslahah mursalah.
Jadi, Al maslahah mursalah adalah suatu ungkapan tentang makna-makna yang
dihasilkan dari penghubungan hukum dan membangunnya diatas fondasi penarikan
maslahah atau penolakan mudharat, dimana hal itu tidak ada dalil tertentu dari
pembuat syari'at yang menunjukkan tentang penetapan ataupun pembatalannya.
2. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pengertian Al maslahah mursalah ?
2.
Bagaimana
pembagian Al maslahah Mursalah ?
3.
Bagaimana
Al maslahah Mursalah sebagai metode dalam penetapan hukum ?
4.
Bagaimana
Al maslahah Mursalah dalam persfektif ulama fiqih ?
5.
Bagaimana
Al maslahah Mursalah dalam menyelesaikan
masalah kontemporer ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al maslahah Mursalah
Secara etimologi, Maslahah
Mursalah terdiri dari dua kata, yaitu Maslahah dan Mursalah, kata Maslahah
berasal dari kata kerja bahasa arab yaitu shalaha-yashluhu-salhan-maslahatan,
yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata Mursalah
berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf'ul yaitu
arsala-yursilu-yursalan. Menjadi yang berarti di utus. Secara terminologi,
menurut imam Fakhrudin Ar Razi dalam mendefinisikan Al maslahah Mursalah
sebagai suatu kemanfaatan yang ditujukan oleh pembuat syari'at yang Maha
bijaksana kepada para hamba-Nya yang meliputi penjagaan terhadap agama mereka,
jiwa, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan yang ditentukan
diantara mereka.
B. Pembagian Maslahah
Maslahah mursalah merupakan salah
satu metode istimbat hukum Islam yang lebih banyak menekankan aspek maslahat
dalam pengambilan keputusan hukumnya. Sementara, peranan maslahat dalam hukum
Islam sangat dominan dan menentukan. Oleh karenanya, berbicara tentang maslahah
mursalah, maka akan selalu berkaitan dengan maslahat yang menjadi tujuan pokok
hukum Islam. Menurut Al-Ghazali maslahah terbagi menjadi tiga, yaitu:
·
Maslahat yang dibenarkan/ditunjukkan oleh
nas/dalil tertentu. Inilah yang dikenal dengan maslahah mu’tabarah. Maslahat
semacam ini dapat dibenarkan untuk menjadi pertimbanagn penetapan hukum Islam
dan termasuk ke dalam kajian qiyas. Dalam hal ini, para pakar hukum Islam telah
konsensus.
·
Maslahat
yang dibatalkan/digugurkan oleh nas/dalil tertentu. Inilah yang dikenal dengan
maslahat mulgah. Maslahat semacam ini tidak dapat dijadikan pertimbangan dalam
penetapan hukum Islam. Dalam hal ini para pakar hukum Islam juga telah
konsensus.
·
Maslahat
yang tidak ditemukan adanya dallil khusus/tertentu yang membenarkan atau
menolak/ menggugurkannya. Maslahat inilah yang dikenal dengan maslahah
mursalah. Para pakar hukum Islam berbeda pendapat apakah maslahah mursalah itu
dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam ataukah tidak.
Dengan
pembagian semacam itu, sekaligus dapat diketahui tentang salah satu persyaratan
maslahah mursalah, yaitu tidak adanya dalil tertentu/khusus yang membatalkan
atau membenarkannya. Lewat pembagian itu pula al-Ghazali ingin membedakan
antara maslaha mursalah dengan qiyas di satu sisi, dan antara maslahah mursalah
dengan maslahah mulgah.
Dari
sisi kekuatan hukumnya, al-Ghazali membagi maslahah menjadi tiga tingkatan.
·
Pertama, tingkat darurat (kebutuhan
primer), merupakan tingkatan paling tinggi/kuat. Misalnya, keputusan syara’
untuk membunuh orang kafir yang menyesatkan dan memberi hukuman kepada pembuat
bid’ah yang mengajak orang lain untuk mengikuti bid’ahnya, sebab hal itu (kalau
dibiarkan) akan melenyapkan agama umat.
·
Kedua, tingkatan hajat (kebutuhan
sekunder). Misalnya, pemberian kekuasaan wali pada mengawinkan anaknya yang
masih kecil, dalam rangka mendapat kemaslahatan yang berupa kafa’ah
(kesetaraan).
· Ketiga,
tahsinat dan tazyinat (pelengkap-penyempurna), yang sifatnya untuk mendapatkan
beberapa nilai tambah. Tingkatan yang terakhir, berada di bawah hajat. Al-Ghazali
memandang bahwa maslahat hajiyat dan tahsiniyat tidak dapat dijadikan hujjah
(dalil) dalam menetapkan hukum Islam.
C. Maslahah Mursalah sebagai Metode
dalam Penetapan Hukum
Sebagaimana
disebutkan bahwa mashlahah terbagi menjadi tiga, yaitu:
maslahah mu’tabarah, maslahah mulgah
dan maslahah mursalah. Untuk yang pertama para
ulama sepakat untuk menerimanya, demikian pula yang kedua mereka sepakat
menolaknya. Adapun untuk yang ketiga terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama ushul. Penggunaan mashlahah mursalah sebagai proses istinbâth hukum
menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Menurut imam Ibn
Taimiyyah: ”mendatangkan mashlahat dan menolak madharat adalah pokok ajaran
Islam sebagaimana yang disepakati para ulama, tetapi mereka berbeda pendapat
tentang kedudukan mashlahah mursalah, ada yang berpendapat bahwa hasil metode
mashlahah mursalah dapat dijadikan sebagai dalil dan hujjah, ada juga yang
menolaknya sebagai dalil karena menganggap mashlahah mursalah adalah proses
logika atas hukum suatu masalah, dan diragukan kebenarannya apalagi mengikut
sertakan hawa nafsunya.
Berikut
ini adalah pendapat para ulama tentang kedudukan mashlahah mursalah:
Pendapat pertama, menurut ulama Syâfi’iyah dan Zhâhiriyah bahwa mashlahah
mursalah tidak dapat dijadikan proses istinbâth hukum dan bukan merupakan
hujjah (dalil). Adapun alasan yang mereka kemukakan adalah:
1.
Maslahat
yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk
pelampiasan hawa nafsu.
2.
Maslahat
mu’tabaroh termasuk qiyas dalam arti umum.
3.
Seandainya
kita memakai dalil maslahah sebagai sumber hukum pokok yang berdiri sendiri
niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan
situasi dan kondisi sehingga syari’at tidak bisa universal (sepanjang zaman).
4.
Mengambil
dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat pada
penyimpangan hukum syari’at.
Pendapat kedua, menurut ulama Hanafiyah, Mâlikiyah dan Hanâbilah bahwa
Mashlahah mursalah dianggap sebagai proses istinbâth hukum dan merupakan hujjah
(dalil). Dasar hukumnya adalah:
1. al-Qu’rân
Firman Allah Swt : فاعتبروا يا أولي الأبصار
Artinya: ”Maka ambillah (Kejadian itu)
untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”.
Allah memerintahkan kepada menusia
untuk senantiasa menyelami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’ân untuk
menentukan syari’at yang tidak disinggung secara literal. Ini mengindikasikan
tentang kebolehan umat Islam untuk berijtihad dengan melewati (mujawaz) teks
sekalipun asalkan tidak
bertujuan untuk mendekonstruksi ajaran
Islam itu sendiri. Syarî’ah Islam dibangun atas dasar memelihara dan mewujudkan
adanya kemashlahatan demi adanya kasih sayang dan kebahagiaan manusia. Atau
dalam firman Allah yang lain: يريد لله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر Artinya: ”Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. Ayat tersebut menunjukkan
adanya kemashlahatan dalam syarî’ah Islam, artinya kedudukan mashlahah mursalah
adalah sebagai ta’lil ahkam dan menjadikannya sebagai proses istinbâth hukum
diperbolehkan adanya.
2. As-Sunnah
Rasullullah SAW memberikan kesempatan
kepada para sahabat untuk melakukan ijtihad dalam tataran makna nash Al-Qur’ân
yang global tatkala nash secara eksplisit tidak menerangkan secara jelas
masalah tersebut tersebut, Rasulullah SAW menetapkan metode ijtihad ini kepada
umat setelahnya dan memberikan ruang selual-luasnya selama masih dalam batasan
yang sesuai. Contohnya dalam hadits yang sudah terkenal yakni tatkala
Rasulullah SAW memberikan persetujuan terhadap ijtihad Mu’adz bin Jabal yang
terjadi saat hendak mengirimnya ke Yaman sebagai seorang hakim. Rasulullah SAW
bertanya: “Apa yang engkau lakukan apabila diajukan kepadamu sesuatu perkara?
“Aku akan menetapkan hukum dengan kitab Allah”. Kemudian beliau bertanya lagi:
“Jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah? Mu’adz bin Jabal menjawab:
“Aku menetapkannya dengan Sunnah Rasulullah”. “Dan jika tidak ada pula dalam
Sunnah Rasulullah? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku berijtihad dengan
sungguh-sungguh”. Kemudian itu Mu’adz bin Jabal bercerita: kemudian Rasulullah
SAW menepuk dadaku dengan seraya berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah, terhadap jalan yang disukai oleh
Rasulullah”. Pada kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda: “Bila seorang Hakim
memutuskan sesuatu perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian hasilnya benar,
maka ia memperoleh dua pahala. Dan bila hasilnya salah, maka ia mendapat satu
pahala.”
Kedua hadits diatas menunjukkan
flexibelitas Rasulullah SAW yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
umat Islam untuk berpikir dengan mengerahkan segala daya upayanya dalam rangka
menentukan hukum baru. Karena Islam juga berkembang pesat diluar wilayah
geografik dan linguistik arabiyah, sehingga kesempatan yang diberikan oleh
Rasulullah harus benar-benar dimanfaatkan oleh segenap umat islam. Perizinan
beliau merupakan langkah positif dalam memajukan dan mendinamisasikan hukum
Islam sehingga dapat diterima oleh umat tanpa keraguan.
3. Perbuatan Sahabat
Kesepakatan para sahabat untuk
menghimpun mushhaf Al-Qur’ân pada masa Abu Bakar yang tidak dijelaskan secara
khusus oleh dalil atas pekerjaan tersebut. Kesepakatan para sahabat untuk
menghukum orang yang minum khamr dengan 80 kali cambukan (jaldah). Sehingga
Sayyidina Ali berkata “orang yang mabuk menyebabkan tidak sadar, dan orang yang
tidak sadar suka melakukan kebohongan, maka aku berpendapat untuk menghukum
bagi pendusta”. Khulafaur Rasyidin memutuskan untuk membayar para
pekerja/pengrajin (shanā’a). Sahabat memutuskan hukuman (dibunuh) sekelompok
orang oleh seorang jika mereka bekerjasama dalam pembunuhan terhadap satu orang
tersebut.
4. Logika
Sebagaimana telah kita ketahui bersama
bahwa pola kehidupan manusia selalu dinamis dan konstitusi Islam telah mencapai
titik final yakni berupa al-Qur’ân dan al-sunnah. Dengan berbagai kejadian
selalu mengalami perubahan dengan kadar yang berbeda, dan peristiwa yang
terjadi itu tidak bisa begitu saja lepas dari syariat karena aturan dalam Islam
selalu bersinergi dengan ruang dan waktu sehingga keberadaan mashalahah
mursalah merupakan perwujudan proses istinbâth hukum yang dibutuhkan dalam
menentukan kepastian hukum atas suatu masalah. Menurut syaikh al-Syinqîthî
mempunyai pandangan yang menarik dalam menengahi kedua pendapat diatas: ”para
sahabat menggunakan mashlahah mursalah sebagai metode berpikir dalam menemukan
dan menetapkan hukum karena proses berpikir ini selalu menjauhkan dari upaya
mendatangkan madharat dan semua madzhab berkaitan erat dengan mashlahah mursalah
meskipun mereka yang tidak setuju tidak memberikan nama mashlahah mursalah.
Tetapi dalam metode istinbâth hukumnya mereka mewujudkan diri dan
mengatasnamakan pada kemashlahatan sebagai upaya untuk memelihara
keberlangsungan hukum Islam”. Dengan demikian perbedaan yang dimiliki dari
kedua kelompok diatas yang terlihat saling bertentangan ternyata hanya berbeda
dalam memberikan definisi yang sesuai, ada yang memberikan nama mashlahah
mursalah dan ada yang menamakannya sebagai qiyâs, sehingga kedua belah pihak
mempunyai kesamaan dalam kerangka berpikir yakni dalam menetapkan hukum harus
mempunyai nilai manfaat dan mencegah adanya kerusakan. Nilai manfaat ini harus
timbul berkesesuaian dengan nash al-Qur’ân dan al-Sunnah serta nilai maqâshid
syari’âh. Artinya, Islam sangat memberikan ruang lebih terhadap kepentingan
kemashlahatan umatnya, demi menjamin kebutuhan primer (dharûriyât) manusia.
Mashlahah dapat dikategorikan sebagai dasar dalam pertimbangan hukum tetapi
tantangan yang terberat yang harus dihadapi adalah keseriusan dalam membaca dan
memahami ketentuan syara’ dalam menghargai mashlahah, hal ini dikarenakan
sesuatu yang di pandang mashlahah oleh akal manusia tidak secara otomatis
dipandang mempunyai nilai mashlahah menurut ketentuan syara’. Misalnya dalam
kasus hukuman mati bagi pelaku pidana korupsi (yang sudah diterapkan di
Republik Rakyat China, dan belum diterapkan di Republik Indonesia). Padahal
dalam hukum Islam dalam menetapkan hukuman bagi pelaku pencurian adalah hukuman
potong tangan seperti dalam ayat السارق والسارقة فاقطعوا أيديھما . Hal ini dalam menetapkan hukuman mati bagi koruptor dapat
memberikan efek jera baginya dan bagi masyarakat agar menghidari praktek
korupsi, sehingga menjadikan Islam sebagai agama rahmatan lil'alamîn.
D. Maslahah Mursalah Perspektif Ulama
Fiqih
Agar maslahah mursalah dapat diterima
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam maka para Imam Mujtahid, di
antaranya Imam al-Ghazali, asy-Syatibi dan at-Tufi membuat rersyaratan dan
ruang lingkup operasional maslahahmursalah. Persyaratan yang mereka buat
berbeda satu sama lain, namun ruang lingkup operasionalnya mereka mempunyai
pendapat yang sama sebagaimana terlihat dalam bahasan di bawah ini.
Al-Ghazali
membuat batasan operasional maslalah-mursalah untuk dapat diterima sebagai
dasar dalam menetapkan hukum Islam;
pertama, maslahat tersebut harus
sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
harta dan keturunan atau kehormatan. Kedua, maslahat tersebut tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Ketiga, maslahat tersebut
menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder) yang setingkat
dengan daruriyah. Keempat, kemaslahatannya harus berstatus qat’i atau zann yang
mendekati qat’i. Kelima, dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan,
harus bersifat qat’iyah, daruriyah,dan kulliyah. Berdasarkan persyaratan
operasional yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas terlihat bahwa Imam
al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang berdiri sendiri,
terlepas dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Imam al-Ghazali memandang
maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah metode istinbath (penetapan) hukum,
bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam.
Agak
berbeda dengan Imam al-Ghazali, asy-Syatibi hanya membuat dua kriteria agar
maslahat dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam. Pertama,
maslahat tersebut harus sejalan dengan jenis tindakan syara’, karena itu
maslahat yang tidak sejalan dengan jenis tindakan syara’ atau yang berlawanan
dengan dalil syara’ (al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’) tidak dapat diterima
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Kedua, maslahat seperti kriteria
nomor satu di atas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika ada dalil khusus
yang menunjukkannya maka itu menurut asy-Syatibi termasuk dalam kajian qiyas.
Al-Ghazali dan asy-Syatibi juga berbeda dalam memandang maslahah mursalah
sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam. Al-Ghazali memandang
maslahah-mursalah sebagai dalil yang tidak berdiri sendiri, sebaliknya asy-Syatibi
malah memandang maslahah-mursalah sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri.
Asy-Syatibi berpendapat demikian karena metode istislah atau maslahah-mursalah
dalam menetapkan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nash tertentu, tetapi
hanya berdasarkan maslahat yang sejalan dengan tujuan penetapan hukum
syara’. Adapun mengenai ruang lingkup
operasional maslahah-mursalah, asy-Syatibi dan Imam al-Ghazali mempunyai
pendapat yang sama, yaitu hanya berlaku dalam bidang muamalah, dan tidak
berlaku dalam bidang ibadah. Begitu juga dengan at-Tufi yang dianggap sebagai
orang yang paling berani dan paling kontropersi pendapatnya tentang maslahat
(bukan maslahah-mursalah), dia juga menetapkan bidang muamalah dan sejenisnya
sebagai ruang lingkup operasional maslahah mursalah. Menurut at-Tufi maslahat
tidak berlaku pada bidang ibadah, muqaddarad dan sejenisnya.
E. Relevansi Maslahah Mursalah Dalam
Menyelesaikan Masalah Kontemporer
Maslahah mursalah merupakan salah satu
metode ijtihad yang menjadikan hukum Islam dapat lebih dinamis dan bersifat
kontekstual, serta tidak ketinggalan zaman, karena perkara-perkara yang baru
dan belum ada ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dapat ditentukan
hukumnya dengan jalan ijtihad yang salah satunya menggunakan metode maslahah
mursalah. Masalah-masalah lama yang ditentukan hukumnya dengan jalan ijtihad
tetapi tidak relevan/berlaku lagi secara efektif dalam masyarakat, karena
perkembangan zaman sudah berlainan, maka terhadap masalah-masalah lama tersebut
dapat ditentukan atau diubah ketentuan hukumnya sesuai dengan zamannya dengan
dasar pertimbangan yang lebih manfaat dan maslahat sepanjang dibenarkan syara’.
Di antara contoh-contoh penerapan maslahah mursalah dalam problematika
kontemporer yang belum ditunjukkan hukumnya oleh nash al-Qur’an dan as-Sunah
antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, umat Islam sudah lama mengenal
lembaga wakaf. Dalam prakteknya wakaf pada sebagian besar umat Islam baru
terbatas pada perwakafan benda tak bergerak, seperti tanah yang diperguanakan
untuk bangunan masjid, tempat pendidikan, rumah sakit, dan lain-lain atau hasil
tanah itu untuk pemeliharaan bangunan-bangunan tersebut. Pada saat ini, obyek
wakaf, baik itu berupa wakaf benda tetap atau benda tak tetap, sudah saatnya
untuk lebih diberdayakan agar lebih produktif, misalnya wakaf yang berupa tanah
atau rumah diberdayakan untuk disewakan, wakaf hewan untuk diternakkan, dan
wakaf uang untuk modal investasi, sehingga diharapkan kelaknya dapat
menciptakan kemaslahatan umat yang lebih luas jika disertai pengelolaan nadhir
yang profesional. Hasilnya untuk dana pembangunan dan untuk memperbaiki
kesejahteraan hidup masyarakat.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Mashlahah mursalah merupakan suatu
metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) dalam Islam yang tidak
berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud
diturunkannya hukum syara’ (maqashid as-syari’ah). Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan
kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab
tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan
manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk
kerusakan. Selama tidak ada nash yang menunjang hukum suatu perkara, mashlahah
mursalah bisa dijadikan dasar untuk mengali atau menetapkan suatu hukumnya,
tentunya dengan beberapa syarat yang telah disebutkan di atas. Dari uraian di
atas tampak bahwa ulama-ulama besar, baik dari kalangan mazhab Malikiyah maupun
dari kalangan Asy-Syafi’iyah pada dasarnya menerima maslahah mursalah sebagai
metode dalam menetapkan hukum Islam. Namun dalam penerapan maslahah-mursalah
tersebut para ulama memakai istilah yang berbeda-beda, sehingga berimplikasi
kepada ketidak-sempurnaan pemahaman generasi berikutnya mengenai pendapat ulama
terdahulu tentang masalah ini. Jadi, sebenarnya akar perbedaan pendapat
mengenai maslahah mursalah sebagai hujjah syar’iyah terletak pada sisi
pandangan mereka terhadap maslahah mursalah.
Kritik dan Saran
Dengan ditulisnya makalah ini, semoga
para pembaca bisa lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan maslahah
mursalah. Dan kami mohon maaf bila masih banyak kekurangan dalam makalah ini,
kami mohon kritik dan saran pembaca agar makalah kami selanjutnya bisa lebih
baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
1. 'Al, Abdul hayy abdul.2014.pengantar ushul fiqih.Jakarta
timur;Pustaka al-kautsar.
2. Syarifuddin, Amir.1999.Ushul Fiqh.Jakarta;Logos
wacana ilmu.
No comments:
Post a Comment