Saturday, August 13, 2016

Makalah Ushul Fiqih_Maslahah Mursalah



BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

            Maslahah mursalah merupakan salah satu metode istimbat hukum Islam yang lebih banyak menekankan aspek maslahat dalam pengambilan keputusan hukumnya. Sementara, peranan maslahat dalam hukum Islam sangat dominan dan menentukan. Mengingat bahwa tujuan dari maslahah adalah menarik kemanfaatan dan menolak kemudharatan yang mana merupakan tujuan yang dikehendaki oleh pembuat syari'at, maka para ulama yang berkecimpung dalam studi ushul fiqih dan syari'at sangat memperhatikan makna ini ketika mereka mendefinisikan al maslahah mursalah. Jadi, Al maslahah mursalah adalah suatu ungkapan tentang makna-makna yang dihasilkan dari penghubungan hukum dan membangunnya diatas fondasi penarikan maslahah atau penolakan mudharat, dimana hal itu tidak ada dalil tertentu dari pembuat syari'at yang menunjukkan tentang penetapan ataupun pembatalannya.

2. Rumusan Masalah
1.     Bagaimana pengertian Al maslahah mursalah ?
2.     Bagaimana pembagian Al maslahah Mursalah ?
3.     Bagaimana Al maslahah Mursalah sebagai metode dalam penetapan hukum ?
4.     Bagaimana Al maslahah Mursalah dalam persfektif ulama fiqih ?
5.     Bagaimana Al maslahah Mursalah dalam menyelesaikan  masalah kontemporer ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al maslahah Mursalah
            Secara etimologi, Maslahah Mursalah terdiri dari dua kata, yaitu Maslahah dan Mursalah, kata Maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab yaitu shalaha-yashluhu-salhan-maslahatan, yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata Mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf'ul yaitu arsala-yursilu-yursalan. Menjadi yang berarti di utus. Secara terminologi, menurut imam Fakhrudin Ar Razi dalam mendefinisikan Al maslahah Mursalah sebagai suatu kemanfaatan yang ditujukan oleh pembuat syari'at yang Maha bijaksana kepada para hamba-Nya yang meliputi penjagaan terhadap agama mereka, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan yang ditentukan diantara mereka.
B. Pembagian Maslahah
            Maslahah mursalah merupakan salah satu metode istimbat hukum Islam yang lebih banyak menekankan aspek maslahat dalam pengambilan keputusan hukumnya. Sementara, peranan maslahat dalam hukum Islam sangat dominan dan menentukan. Oleh karenanya, berbicara tentang maslahah mursalah, maka akan selalu berkaitan dengan maslahat yang menjadi tujuan pokok hukum Islam. Menurut Al-Ghazali maslahah terbagi menjadi tiga, yaitu:
·       Maslahat yang dibenarkan/ditunjukkan oleh nas/dalil tertentu. Inilah yang dikenal dengan maslahah mu’tabarah. Maslahat semacam ini dapat dibenarkan untuk menjadi pertimbanagn penetapan hukum Islam dan termasuk ke dalam kajian qiyas. Dalam hal ini, para pakar hukum Islam telah konsensus.
·       Maslahat yang dibatalkan/digugurkan oleh nas/dalil tertentu. Inilah yang dikenal dengan maslahat mulgah. Maslahat semacam ini tidak dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam. Dalam hal ini para pakar hukum Islam juga telah konsensus.
·       Maslahat yang tidak ditemukan adanya dallil khusus/tertentu yang membenarkan atau menolak/ menggugurkannya. Maslahat inilah yang dikenal dengan maslahah mursalah. Para pakar hukum Islam berbeda pendapat apakah maslahah mursalah itu dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam ataukah tidak.
Dengan pembagian semacam itu, sekaligus dapat diketahui tentang salah satu persyaratan maslahah mursalah, yaitu tidak adanya dalil tertentu/khusus yang membatalkan atau membenarkannya. Lewat pembagian itu pula al-Ghazali ingin membedakan antara maslaha mursalah dengan qiyas di satu sisi, dan antara maslahah mursalah dengan maslahah mulgah.
Dari sisi kekuatan hukumnya, al-Ghazali membagi maslahah menjadi tiga tingkatan.
·       Pertama, tingkat darurat (kebutuhan primer), merupakan tingkatan paling tinggi/kuat. Misalnya, keputusan syara’ untuk membunuh orang kafir yang menyesatkan dan memberi hukuman kepada pembuat bid’ah yang mengajak orang lain untuk mengikuti bid’ahnya, sebab hal itu (kalau dibiarkan) akan melenyapkan agama umat.
·       Kedua, tingkatan hajat (kebutuhan sekunder). Misalnya, pemberian kekuasaan wali pada mengawinkan anaknya yang masih kecil, dalam rangka mendapat kemaslahatan yang berupa kafa’ah (kesetaraan).
·       Ketiga, tahsinat dan tazyinat (pelengkap-penyempurna), yang sifatnya untuk mendapatkan beberapa nilai tambah. Tingkatan yang terakhir, berada di bawah hajat. Al-Ghazali memandang bahwa maslahat hajiyat dan tahsiniyat tidak dapat dijadikan hujjah (dalil) dalam menetapkan hukum Islam.
C. Maslahah Mursalah sebagai Metode dalam Penetapan Hukum
            Sebagaimana disebutkan bahwa mashlahah terbagi menjadi tiga, yaitu:
maslahah mu’tabarah, maslahah mulgah dan maslahah mursalah. Untuk yang pertama para ulama sepakat untuk menerimanya, demikian pula yang kedua mereka sepakat menolaknya. Adapun untuk yang ketiga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul. Penggunaan mashlahah mursalah sebagai proses istinbâth hukum menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Menurut imam Ibn Taimiyyah: ”mendatangkan mashlahat dan menolak madharat adalah pokok ajaran Islam sebagaimana yang disepakati para ulama, tetapi mereka berbeda pendapat tentang kedudukan mashlahah mursalah, ada yang berpendapat bahwa hasil metode mashlahah mursalah dapat dijadikan sebagai dalil dan hujjah, ada juga yang menolaknya sebagai dalil karena menganggap mashlahah mursalah adalah proses logika atas hukum suatu masalah, dan diragukan kebenarannya apalagi mengikut sertakan hawa nafsunya.
            Berikut ini adalah pendapat para ulama tentang kedudukan mashlahah mursalah:
Pendapat pertama, menurut ulama Syâfi’iyah dan Zhâhiriyah bahwa mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan proses istinbâth hukum dan bukan merupakan hujjah (dalil). Adapun alasan yang mereka kemukakan adalah:
1.     Maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk pelampiasan hawa nafsu.
2.     Maslahat mu’tabaroh termasuk qiyas dalam arti umum.
3.     Seandainya kita memakai dalil maslahah sebagai sumber hukum pokok yang berdiri sendiri niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan situasi dan kondisi sehingga syari’at tidak bisa universal (sepanjang zaman).
4.     Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat pada penyimpangan hukum syari’at.
Pendapat kedua, menurut ulama Hanafiyah, Mâlikiyah dan Hanâbilah bahwa Mashlahah mursalah dianggap sebagai proses istinbâth hukum dan merupakan hujjah (dalil). Dasar hukumnya adalah:
1. al-Qu’rân
Firman Allah Swt : فاعتبروا يا أولي الأبصار
Artinya: ”Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”.
Allah memerintahkan kepada menusia untuk senantiasa menyelami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’ân untuk menentukan syari’at yang tidak disinggung secara literal. Ini mengindikasikan tentang kebolehan umat Islam untuk berijtihad dengan melewati (mujawaz) teks sekalipun asalkan tidak
bertujuan untuk mendekonstruksi ajaran Islam itu sendiri. Syarî’ah Islam dibangun atas dasar memelihara dan mewujudkan adanya kemashlahatan demi adanya kasih sayang dan kebahagiaan manusia. Atau dalam firman Allah yang lain: يريد لله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر Artinya: ”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. Ayat tersebut menunjukkan adanya kemashlahatan dalam syarî’ah Islam, artinya kedudukan mashlahah mursalah adalah sebagai ta’lil ahkam dan menjadikannya sebagai proses istinbâth hukum diperbolehkan adanya.
2. As-Sunnah
Rasullullah SAW memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk melakukan ijtihad dalam tataran makna nash Al-Qur’ân yang global tatkala nash secara eksplisit tidak menerangkan secara jelas masalah tersebut tersebut, Rasulullah SAW menetapkan metode ijtihad ini kepada umat setelahnya dan memberikan ruang selual-luasnya selama masih dalam batasan yang sesuai. Contohnya dalam hadits yang sudah terkenal yakni tatkala Rasulullah SAW memberikan persetujuan terhadap ijtihad Mu’adz bin Jabal yang terjadi saat hendak mengirimnya ke Yaman sebagai seorang hakim. Rasulullah SAW bertanya: “Apa yang engkau lakukan apabila diajukan kepadamu sesuatu perkara? “Aku akan menetapkan hukum dengan kitab Allah”. Kemudian beliau bertanya lagi: “Jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku menetapkannya dengan Sunnah Rasulullah”. “Dan jika tidak ada pula dalam Sunnah Rasulullah? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku berijtihad dengan sungguh-sungguh”. Kemudian itu Mu’adz bin Jabal bercerita: kemudian Rasulullah SAW menepuk dadaku dengan seraya berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah, terhadap jalan yang disukai oleh Rasulullah”. Pada kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda: “Bila seorang Hakim memutuskan sesuatu perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian hasilnya benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan bila hasilnya salah, maka ia mendapat satu pahala.”
Kedua hadits diatas menunjukkan flexibelitas Rasulullah SAW yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada umat Islam untuk berpikir dengan mengerahkan segala daya upayanya dalam rangka menentukan hukum baru. Karena Islam juga berkembang pesat diluar wilayah geografik dan linguistik arabiyah, sehingga kesempatan yang diberikan oleh Rasulullah harus benar-benar dimanfaatkan oleh segenap umat islam. Perizinan beliau merupakan langkah positif dalam memajukan dan mendinamisasikan hukum Islam sehingga dapat diterima oleh umat tanpa keraguan.
3. Perbuatan Sahabat
Kesepakatan para sahabat untuk menghimpun mushhaf Al-Qur’ân pada masa Abu Bakar yang tidak dijelaskan secara khusus oleh dalil atas pekerjaan tersebut. Kesepakatan para sahabat untuk menghukum orang yang minum khamr dengan 80 kali cambukan (jaldah). Sehingga Sayyidina Ali berkata “orang yang mabuk menyebabkan tidak sadar, dan orang yang tidak sadar suka melakukan kebohongan, maka aku berpendapat untuk menghukum bagi pendusta”. Khulafaur Rasyidin memutuskan untuk membayar para pekerja/pengrajin (shanā’a). Sahabat memutuskan hukuman (dibunuh) sekelompok orang oleh seorang jika mereka bekerjasama dalam pembunuhan terhadap satu orang tersebut.
4. Logika
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa pola kehidupan manusia selalu dinamis dan konstitusi Islam telah mencapai titik final yakni berupa al-Qur’ân dan al-sunnah. Dengan berbagai kejadian selalu mengalami perubahan dengan kadar yang berbeda, dan peristiwa yang terjadi itu tidak bisa begitu saja lepas dari syariat karena aturan dalam Islam selalu bersinergi dengan ruang dan waktu sehingga keberadaan mashalahah mursalah merupakan perwujudan proses istinbâth hukum yang dibutuhkan dalam menentukan kepastian hukum atas suatu masalah. Menurut syaikh al-Syinqîthî mempunyai pandangan yang menarik dalam menengahi kedua pendapat diatas: ”para sahabat menggunakan mashlahah mursalah sebagai metode berpikir dalam menemukan dan menetapkan hukum karena proses berpikir ini selalu menjauhkan dari upaya mendatangkan madharat dan semua madzhab berkaitan erat dengan mashlahah mursalah meskipun mereka yang tidak setuju tidak memberikan nama mashlahah mursalah. Tetapi dalam metode istinbâth hukumnya mereka mewujudkan diri dan mengatasnamakan pada kemashlahatan sebagai upaya untuk memelihara keberlangsungan hukum Islam”. Dengan demikian perbedaan yang dimiliki dari kedua kelompok diatas yang terlihat saling bertentangan ternyata hanya berbeda dalam memberikan definisi yang sesuai, ada yang memberikan nama mashlahah mursalah dan ada yang menamakannya sebagai qiyâs, sehingga kedua belah pihak mempunyai kesamaan dalam kerangka berpikir yakni dalam menetapkan hukum harus mempunyai nilai manfaat dan mencegah adanya kerusakan. Nilai manfaat ini harus timbul berkesesuaian dengan nash al-Qur’ân dan al-Sunnah serta nilai maqâshid syari’âh. Artinya, Islam sangat memberikan ruang lebih terhadap kepentingan kemashlahatan umatnya, demi menjamin kebutuhan primer (dharûriyât) manusia. Mashlahah dapat dikategorikan sebagai dasar dalam pertimbangan hukum tetapi tantangan yang terberat yang harus dihadapi adalah keseriusan dalam membaca dan memahami ketentuan syara’ dalam menghargai mashlahah, hal ini dikarenakan sesuatu yang di pandang mashlahah oleh akal manusia tidak secara otomatis dipandang mempunyai nilai mashlahah menurut ketentuan syara’. Misalnya dalam kasus hukuman mati bagi pelaku pidana korupsi (yang sudah diterapkan di Republik Rakyat China, dan belum diterapkan di Republik Indonesia). Padahal dalam hukum Islam dalam menetapkan hukuman bagi pelaku pencurian adalah hukuman potong tangan seperti dalam ayat السارق والسارقة  فاقطعوا أيديھما . Hal ini dalam menetapkan hukuman mati bagi koruptor dapat memberikan efek jera baginya dan bagi masyarakat agar menghidari praktek korupsi, sehingga menjadikan Islam sebagai agama rahmatan lil'alamîn.
D. Maslahah Mursalah Perspektif Ulama Fiqih
Agar maslahah mursalah dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam maka para Imam Mujtahid, di antaranya Imam al-Ghazali, asy-Syatibi dan at-Tufi membuat rersyaratan dan ruang lingkup operasional maslahahmursalah. Persyaratan yang mereka buat berbeda satu sama lain, namun ruang lingkup operasionalnya mereka mempunyai pendapat yang sama sebagaimana terlihat dalam bahasan di bawah ini.
            Al-Ghazali membuat batasan operasional maslalah-mursalah untuk dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam;
pertama, maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan. Kedua, maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Ketiga, maslahat tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder) yang setingkat dengan daruriyah. Keempat, kemaslahatannya harus berstatus qat’i atau zann yang mendekati qat’i. Kelima, dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus bersifat qat’iyah, daruriyah,dan kulliyah. Berdasarkan persyaratan operasional yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas terlihat bahwa Imam al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Imam al-Ghazali memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah metode istinbath (penetapan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam.
            Agak berbeda dengan Imam al-Ghazali, asy-Syatibi hanya membuat dua kriteria agar maslahat dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam. Pertama, maslahat tersebut harus sejalan dengan jenis tindakan syara’, karena itu maslahat yang tidak sejalan dengan jenis tindakan syara’ atau yang berlawanan dengan dalil syara’ (al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’) tidak dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Kedua, maslahat seperti kriteria nomor satu di atas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika ada dalil khusus yang menunjukkannya maka itu menurut asy-Syatibi termasuk dalam kajian qiyas. Al-Ghazali dan asy-Syatibi juga berbeda dalam memandang maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam. Al-Ghazali memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang tidak berdiri sendiri, sebaliknya asy-Syatibi malah memandang maslahah-mursalah sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri. Asy-Syatibi berpendapat demikian karena metode istislah atau maslahah-mursalah dalam menetapkan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nash tertentu, tetapi hanya berdasarkan maslahat yang sejalan dengan tujuan penetapan hukum syara’.  Adapun mengenai ruang lingkup operasional maslahah-mursalah, asy-Syatibi dan Imam al-Ghazali mempunyai pendapat yang sama, yaitu hanya berlaku dalam bidang muamalah, dan tidak berlaku dalam bidang ibadah. Begitu juga dengan at-Tufi yang dianggap sebagai orang yang paling berani dan paling kontropersi pendapatnya tentang maslahat (bukan maslahah-mursalah), dia juga menetapkan bidang muamalah dan sejenisnya sebagai ruang lingkup operasional maslahah mursalah. Menurut at-Tufi maslahat tidak berlaku pada bidang ibadah, muqaddarad dan sejenisnya.
E. Relevansi Maslahah Mursalah Dalam Menyelesaikan Masalah Kontemporer
Maslahah mursalah merupakan salah satu metode ijtihad yang menjadikan hukum Islam dapat lebih dinamis dan bersifat kontekstual, serta tidak ketinggalan zaman, karena perkara-perkara yang baru dan belum ada ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dapat ditentukan hukumnya dengan jalan ijtihad yang salah satunya menggunakan metode maslahah mursalah. Masalah-masalah lama yang ditentukan hukumnya dengan jalan ijtihad tetapi tidak relevan/berlaku lagi secara efektif dalam masyarakat, karena perkembangan zaman sudah berlainan, maka terhadap masalah-masalah lama tersebut dapat ditentukan atau diubah ketentuan hukumnya sesuai dengan zamannya dengan dasar pertimbangan yang lebih manfaat dan maslahat sepanjang dibenarkan syara’. Di antara contoh-contoh penerapan maslahah mursalah dalam problematika kontemporer yang belum ditunjukkan hukumnya oleh nash al-Qur’an dan as-Sunah antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, umat Islam sudah lama mengenal lembaga wakaf. Dalam prakteknya wakaf pada sebagian besar umat Islam baru terbatas pada perwakafan benda tak bergerak, seperti tanah yang diperguanakan untuk bangunan masjid, tempat pendidikan, rumah sakit, dan lain-lain atau hasil tanah itu untuk pemeliharaan bangunan-bangunan tersebut. Pada saat ini, obyek wakaf, baik itu berupa wakaf benda tetap atau benda tak tetap, sudah saatnya untuk lebih diberdayakan agar lebih produktif, misalnya wakaf yang berupa tanah atau rumah diberdayakan untuk disewakan, wakaf hewan untuk diternakkan, dan wakaf uang untuk modal investasi, sehingga diharapkan kelaknya dapat menciptakan kemaslahatan umat yang lebih luas jika disertai pengelolaan nadhir yang profesional. Hasilnya untuk dana pembangunan dan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup masyarakat.

BAB III
 Penutup
Kesimpulan
Mashlahah mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) dalam Islam yang tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqashid as-syari’ah). Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan. Selama tidak ada nash yang menunjang hukum suatu perkara, mashlahah mursalah bisa dijadikan dasar untuk mengali atau menetapkan suatu hukumnya, tentunya dengan beberapa syarat yang telah disebutkan di atas. Dari uraian di atas tampak bahwa ulama-ulama besar, baik dari kalangan mazhab Malikiyah maupun dari kalangan Asy-Syafi’iyah pada dasarnya menerima maslahah mursalah sebagai metode dalam menetapkan hukum Islam. Namun dalam penerapan maslahah-mursalah tersebut para ulama memakai istilah yang berbeda-beda, sehingga berimplikasi kepada ketidak-sempurnaan pemahaman generasi berikutnya mengenai pendapat ulama terdahulu tentang masalah ini. Jadi, sebenarnya akar perbedaan pendapat mengenai maslahah mursalah sebagai hujjah syar’iyah terletak pada sisi pandangan mereka terhadap maslahah mursalah.

Kritik dan Saran
Dengan ditulisnya makalah ini, semoga para pembaca bisa lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan maslahah mursalah. Dan kami mohon maaf bila masih banyak kekurangan dalam makalah ini, kami mohon kritik dan saran pembaca agar makalah kami selanjutnya bisa lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA
1. 'Al, Abdul hayy abdul.2014.pengantar ushul fiqih.Jakarta timur;Pustaka al-kautsar.
2. Syarifuddin, Amir.1999.Ushul Fiqh.Jakarta;Logos wacana ilmu.

No comments:

Post a Comment